Salah satu dampak pandemi Covid-19 di sektor pekerjaan adalah munculnya pemikiran baru yang disebut quiet quitting.
Pemikiran ini menyasar gen Z dan Y di dunia kerja sehingga dua generasi ini menolak hustle culture.
Hustle culture sendiri merupakan tekanan untuk bekerja lebih banyak dan lebih sibuk dari orang lain, namun dianggap sebagai hal yang wajar dan biasa saja.
Berikut fakta mengenai quiet quitting berdasarkan laman Instagram pandemictalks.
Gagasan quiet quitting ini secara konkret berbentuk kebiasaan bekerja seperlunya, menolak lembur, serta tidak adanya keinginan mengejar karir.
Lebih dari itu, gagasan berhenti diam-diam ini dapat berdampak buruk pada kinerja perusahaan.
Biasanya, orang dengan quiet quitting berpikir dengan bekerja sesuai tugas sudah berperan untuk perusahaan.
Menurutnya, tidak perlu bekerja lebih banyak atau lebih sibuk karena dia juga menolak gagasan hidup untuk bekerja.
Quiet quitting timbul akibat jam kerja pada masa pandemi yang tidak teratur dan berantakan.
Asosiasi Psikologi Amerika menyebutkan kelelahan dan stres para pekerja saat pandemi memuncak.
Quiet quitting bahkan disebut-sebut sebagai respons dari gagasan pengunduran diri massal.
Hal ini berdasarkan fenomena naiknya jumlah para pekerja yang mengundurkan diri setelah pandemi Covid-19.
Sedikitnya ada 20 persen pekerja yang berencana mengundurkan diri di Inggris.
Mereka kemudian mencari kondisi kerja yang lebih memuaskan dan upah yang dianggap lebih baik.
Selain itu, apa saja penyebab quiet quitting? Penyebab quiet quitting di antaranya adalah pandemi yang mengubah pemikiran banyak orang dan memunculkan perspektif hidup yang baru.
Memprioritaskan kehidupan dari pada karir juga salah satu hal yang dipikirkan orang dengan quiet quitting.
Kadangkala, lingkungan kerja juga berpengaruh dalam kinerja.
Salah satu penyebab quiet quitting juga karena minimnya apresiasi di lingkungan kerja serta lingkungan kerja yang dianggap kurang bersahabat.
Selain itu, penyebab quiet quitting terakhir adalah pemikiran keseimbangan kehidupan pekerjaan dan pribadi.
Bagaimana quiet quitting dalam kehidupan nyata? Cara mengidentifikasi adakah orang dengan quiet quitting di sekitar dengan melihat apakah ada yang selalu menolak lembur, juga selalu menolak pekerjaan tambahan.
Selain itu, orang dengan quiet quitting juga selalu menolak bekerja di luar jam kantor.
Orang dengan quiet quitting biasanya berperan seadanya dan cenderung menolak berperan lebih.
Lalu, orang dengan quiet quitting juga bekerja lebih sedikit dan seperlunya saja.
Mereka memegang teguh keseimbangan hidup dan kerja sehingga waktunya seimbang antara keluarga, teman, keinginan pribadi, dan pekerjaan.
Mereka menolak bekerja di luar keharusan.
Tapi, apakah quiet quitting aman? Sayangnya, perusahaan tentu tidak akan betah punyai pekerja yang cenderung menyebabkan kinerja buruk bagi perusahaan tersebut dan yang sangat disayangkan mereka yang menyia-nyiakan kesempatan dan peluang bagus untuk karir.
Business Insider menyebutkan, “Jika pasar tenaga kerja berubah, orang-orang yang melakukan quiet quitting akan berada di urutan teratas daftar PHK.” Senada dengan hal tersebut, sebuah artikel juga menyebutkan, “Quiet quitting memang bisa melindungi kesehatan mental dan fisik di lingkungan kerja yang toksik.
Namun, bertahan dalam pekerjaan yang menyedihkan dan melakukannya dengan intensitas minimal bisa berarti juga melepaskan peluang yang bisa datang dari pekerjaan yang lebih baik.”